Pengertian Cloning Gen, Manusia dan Menurut Pandangan Islam
Kloning; pengertian sederhanya adalah cangkok; yaitu penggabungan
unsur-unsur hayati dua atau lebih untuk memperoleh manfaat tertentu. Di
bidang biologi molekuler, pengertian kloning ini sering dikonotasikan
dengan teknologi penggabungan fragment (potongan) DNA, sehingga
pengertiannya identik dengan teknologi rekombinan DNA atau rekayasa
genetik. Namun pengertian di luar itu juga masih tetap digunakan,
misalnya kloning domba dsb, yang merupakan “penggabungan” unsur inti sel dengan
sel telur tanpa inti. Dengan demikian teknologi kloning ini juga termasuk dalam
wacana bioteknologi; malah bisa dikatakan sebagai hal yang mendasar untuk
bioteknologi.
Teknologi kloning lemang memungkinkan untuk dikembangakan ke arah
rekayasa pembuatan jaringan atau organ tertentu. Namun mesti memperhatikan
masalah etik (mungkin ada yang punya pandangan tertentu mengenai etika ini?
Ditinjau dari segi ajaran agama, misalnya?). Mengenai rekayasa darah
untuk keperluan transfusi, meskipun sel darahnya sendiri bisa diusahakan
melalui teknologi kloning (melalui stimulasi hematopoietic progenitors, atau
dari stem cells-nya), namun mesti juga harus memperhatikan komponen-komponen
lainnya selain komponen sel-sel darah.
Pengertian kloning:Kloning adalah teknik membuat keturunan derngan kode genetik
yang sama dengan induknya, pada manusia kloning dilakukan dengan mempersiapkan
sel telur yang sudah di ambil intinya lalu disatukan dengan sel somatic dari
suatu organ tubu, kemudian hasilnya ditanamkan dalam rahim seperti halnya pada
bayi tabung.
Macam-macam teknik pengkloningan: kloning dapat dilakukan terhadap semua
makhluk hidup tumbuhan,hewandan manusia.Pada tumbuhan kloning dapat dilakukan
dengan tekhink okulasi,sedangkan pada hewan dan manusia,ada beberapa
tekhnik-tekhnik yan dapat dilakukan, kloning ini dapat berupa kloning embrio
dan kloning hewan atau manusia itu sendiri.
kloning terhadap hewan atau tumbuhan jika memiliki daya guna bagi kehidupan
manusi maka hukumnya mubah/boleh dalilnya : Q.S. Al-Baqoroh:29,Q.S. Al-Jatsiyah
berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan beberapa ulama’ dapat di ketahui
mafsadat dari kloning lebih banyak daripada maslahatnya. oleh karna itu,praktek
kloning manusia bertentangan dengan hukum islam dengan demikian kloning manusia
dalam islam hukumnya haram.Dalil-dalil keharaman.:Q.S. An-Najm:45-46, Q.S.
Al-Qiyamah:37-38,Q.S.Al-Hujurat:13,Q.S.Al-Ahzab:5,Q.S.Al-Israa’:70,Q.S.At-tiin:4
PANDANGAN BAYI KLONING MENURUT AJARAN ISLAM DAN MENURUT KESEHATAN
Pengertian
Bayi Kloning
Bayi Kloning adalah keturunan derngan kode
genetik yang sama dengan induknya, pada manusia kloning dilakukan dengan
mempersiapkan sel telur yang sudah di ambil intinya lalu disatukan dengan sel
somatic dari suatu organ tubuh, kemudian hasilnya ditanamkan dalam rahim
seperti halnya pada bayi tabung.
Dengan metode semacam itu,
kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil
inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi
khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan
dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini
terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak
diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi
janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan
dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel
tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.
Jenis-jenis
dan Tujuan Kloning
1. cloning embrio
Cloning embrio betujuan membuat kembar dua, tiga, dan
seterusnya dari sebuah zigot.
2. cloning biomedik
(terapetik)
Cloning biomedik (terapetik) bertujuan untuk keperluan
penelitian pengobatan penyakit yang hingga kini sulit disembuhkan, seperti
Alzheimer, parkinson, DM (Diabetes Mellitus), Infrak Jantung, Kanker
darah, stroke, dan sebagainya.
3. cloning reproduksi.
Tujuan dilakukannya cloning reproduksi adalah untuk
mendapatkan anak klon dari orang yang diklon, memproduksi sejumlah individu
yang secara genetik identik. Metodenya, dapat dilakukan melalui proses seksual
dengan fertilisasi in vitro dan aseksual dengan menggunakan sel somatis sebagai
sumber gen. Pada cloning seksual, secara teknis langkah awal yang dilakukan
adalah fertilisasi in vitro. Setelah embrio terbentuk dan berkembang mencapai
empat sampai delapan sel segera dilakukan splitting (pemotongan dengan teknik
mikromanipulasi) menjadi dua atau empat bagian. Bagian-bagian embrio ini dapat
ditumbuhkan kembali dalam inkubator hingga berkembang menjadi embrio normal
yang memiliki genetik sama. Setelah mencapai fase blastosis, embrio tersebut
ditransfer kembali ke dalam rahim ibu sampai umur sembilan bulan. Berbeda
dengan cloning seksual, pada cloning aseksual fertilisasi tidak dilakukan
menggunakan sperma, melainkan hanya sebuah sel telur terfertilisasi semu yang
dikeluarkan pronukleusnya dan sel somatis. Karenanya, bila pada cloning seksual
genetik anak berasal dari kedua orang tuanya, maka pada cloning aseksual
genetik anak sama dengan genetik penyumbang sel somatis.
Hukum Kloning
Reproduksi Manusia Menurut Ajaran Islam Dan Kesehatan
Cloning pada manusia termasuk isu besar,
namun respon dari ulama Indonesia
melalui ijtihād jamā'i maupun individual belum cukup representatif. Fatwa
terhadap cloning, antara lain, datang dari Bahtsul Masail yang diberikan sangat
singkat dan belum tuntas, sehingga diperlukan fatwa lanjutan. Fatwa yang cukup
memadai datang dari MUI (2000). Belumnya lembaga fatwa yang lain menetapkan
hukumnya, diduga karena hal tersebut belum terjadi dan kemungkinan terjadinya
masih sangat jauh sehingga dianggap tidak mendesak, atau karena 'illat hukum
cloning manusia sangat jelas sehingga tidak perlu ditetapkan hukumnya secara
khusus, dapat dikiyaskan kepada hukum inseminasi buatan atau bayi tabung.
Memproduksi atau melipatgandakan anak manusia melalui proses cloning akan
meniadakan berbagai pelaksanaan hukum Islam, seperti tentang perkawinan, nasab,
nafkah, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, waris, perawatan anak,
hubungan kemahraman, dan lain-lain.
Dilihat dari segi teknis dan dampak hukum
yang ditimbulkannya, cloning embrio dapat disamakan dengan bayi tabung. Karena
itu, jika batas-batas diperkenankannya bayi tabung, seperti asal pemilik ovum,
sperma, dan rahim terpenuhi, tanpa melibatkan pihak ketiga (donor atau sewa
rahim), dan dilaksanakan ketika suami-isteri tersebut masih terikat pernikahan
maka hukumnya boleh. Dengan begitu, anak kembar yang dilahirkan akan berstatus
sebagai anak sah pasangan tersebut.
Hukum cloning, dilihat dari teknis dan
dampaknya dapat dipersamakan dengan inseminasi buatan atau bayi tabung,
Ulama sepakat bahwa setiap upaya mereproduksi manusia yang berdampak dapat
merancukan nasab atau hubungan kekeluargaan, lebih-lebih kalau kontribusi
ayah tak ada dalam cloning ini, maka hukumnya lebih haram. Dari dampak teringan
tingkat kerancuannya pada praktik inseminasi buatan dan bayi tabung adalah
praktik penitipan zigot yang berasal dari pasangan poligamis di rahim isterinya
yang lain hukumnya haram, apalagi cloning manusia yang lebih merancukan
hubungan nasab dan kekeluargaan. Kerancuan nasab yang ditimbulkan dari cloning
reproduksi manusia yang teringan, meskipun sel tubuh diambil dari suaminya,
tetap menghadirkan persoalan rumit, yaitu menyangkut status anaknya kelak,
sebagai anak kandung pasangan suami-isteri tersebut atau 'kembaran terlambat'
dari suaminya, atau dia tidak berayah, mengingat sifat genetiknya 100 % sama
dengan suaminya. Jika demikian, maka anak tersebut lebih tepat disebut sebagai
kembaran dari pemberi sel. Jika sebagai kembaran atau duplikat terlambat
suaminya, bagaimana hubungannya dengan wanita itu dan keturunannya serta
anggota keluarganya yang lain. Apalagi jika cloning diambil dari pasangan yang
tidak terikat pernikahan yang sah, atau anak klon yang berasal dari sel telur
seorang wanita dengan sel dewasa wanita itu sendiri atau dengan wanita lain,
maka tingkat kerancuannya lebih rumit. Tidak berasal dari mani (sperma). Di
samping itu, yang masih diperdebatkan mengenai usia anak klon, dugaan terkuat
menyatakan akan sama dengan usia dari pemberi sel.
Bahtsul Masail pada Munas NU (Lombok
Tengah, 17-20 Nopember 1997) menyepakati tentang hukum cloning gen pada manusia
hukumnya haram. Alasannya, proses tanasul (berketurunan) harus melalui
pernikahan secara syar'i, Bisa mengakibatkan kerancuan nasab,dan penanamannya
kembali ke dalam rahim tidak dapat dilakukan tanpa melihat aurat besar.
Fatwa yang sama diputuskan oleh MUI, pada
Munas VI (25-29 Juli 2000) menetapkan hukum cloning terhadap manusia, dengan
cara bagaimana pun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah
haram. Bahkan, dalam fatwa MUI tersebut mewajibkan kepada semua pihak yang
terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik cloning
terhadap manusia.
Ulama dari sejumlah lembaga fatwa di dunia
Islam juga mengharamkan cloning manusia, antara lain, Akademi Fikih Islam Liga
Dunia Muslim dalam pertemuannya yang ke-10 di Jeddah pada tahun 1997 yang
menetapkan bahwa: ”Cloning manusia, apa pun metode yang digunakan dalam
reproduksi manusia itu adalah sesuatu yang tidak Islami dan sepatutnya dilarang
keras".
Dampak Bayi Cloning
Reproduksi Wanita
Meski cloning reproduksi manusia ada
manfaatnya bagi manusia, misalnya dapat membantu pasangan yang bermasalah
dengan alat reproduksinya, namun karena dalam pelaksanaannya akan berbenturan
dengan batasan-batasan syar’i, maka hukumnya haram. Dari sejumlah argumen
haramnya melakukan cloning reproduksi manusia yang dikemukakan di atas, yang
paling lemah karena menilainya sebagai bentuk intervensi atas ciptaan Allah.
Adapun alasan kuat haramnya tindakan tersebut dilihat dari sumber pemilik sel
dari siapa pun akan berakibat merancukan nasab.
Dampak
teknologi cloning reproduksi manusia akan merancukan nasab dan hal lain yang
lebih luas, berbenturan dengan banyak ketentuan syar'i, bahkan nyaris tidak ada
kemaslahatannya, jika ada sangat sedikit dan masih bersifat spekulatif. Prinsip
ini bertentangan dengan kaidah fikih: “Rukhshat tidak dapat dikaitkan pada yang
meragukan), juga tidak dapat dikaitkan dengan berbagai kemaksiatan. Dilihat
dari dampaknya, cloning reproduksi manusia lebih merancukan nasab, menyangkut
status hubungan kenasaban dengan pemilik ovum, rahim, sperma, atau sel. Status
anak dengan pemilik ovum, berstatus sebagai anak atau saudara kembar?
Sebaliknya, jika yang diklon adalah pihak perempuan, pemilik ovum itu sendiri
atau orang lain, lebih sulit menentukan statusnya. Demikian pula terhadap pemilik
sperma, atau sel, sebagai anak atau saudara kembar.
0 komentar:
Posting Komentar